Perjalanan Vacare Deo***
kali ini saya merasa ada hal istimewa yang saya peroleh. Keistimewaan ini bukan karena saya diberikan kesempatan yang kedua kalinya untuk mengikuti Vacare Deo. Bukan juga karena saya menikmati makanan enak di setiap tempat persinggahan. Atau juga karena saya berada berada dalam sebuah mobil berlambang koala yang megah dan indah. Keistimewaan ini saya peroleh pada sebuah tempat sederhana di sebuah sudut pendopo pastoral di sebuah paroki yang disinggapi peserta Vacare Deo selama perjalanan dari Malang menuju Jakarta. Pada saat itu saya bertemu dengan seorang konfrater Karmel yang umurnya lebih di atas saya dan kami berbicara tentang satu hal. Tampak aura wajahnya tergolong pribadi yang ulet dan pekerja keras. Dalam banyak kesempatan ia tidak suka berbicara, ia termasuk golongan orang yang irit kata-kata untuk berbicara. Jika berbicara, berbicara seperlunya saja. Dalam tulisan ini saya tidak akan mengumbar secara gamblang siapa tokoh yang dimaksud supaya tidak terjadi salah paham di antara kita. Saya sembunyikan identitasnya, sebab yang ingin saya uraikan dalam tulisan ini bukan identitas, melainkan sebuah kekayaan refleksi yang dibagikannya kepada saya.
Pembicaraan kami berdua menguak sebuah tema penting sebagaimana para karmelit hayati, yakni seputar penyerahan diri akan karya Tuhan dalam hidup dan panggilan. Peran saya dalam perbincangan kami adalah pendengar setia. Atas dasar itulah saya rasa apa yang saya dengarkan perlu saya bagikan melalui tulisan ini. Dalam pembukaan perbincangan kami dia berujar, frater ternyata ungkapan Bunda Maria dalam Injil Lukas 1:38 memiliki kekuatan yang luar biasa untuk direnungkan dalam perjalanan panggilan kita ini. Mendengar itu saya hanya berupaya menyambung sejumlah kalimat atau kata-kata tertentu agar beliau melanjutkan apa yang menjadi maksudnya pembicaraannya. Dia pun melanjutkan bahwa ungkapan Bunda Maria itu merupakan motto panggilan saya. Kalau saya disuruh untuk membuat refleksi tentang perjalanan panggilan saya, ungkapan Bunda Maria itu adalah hal yang selalu saya jadikan inspirasi. Maria mengatakan hal itu karena dirinya dikabarkan oleh malaikat utusan Tuhan bahwa ia akan mengandung dari Roh Kudus. “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu”.
Sejenak kami berdiam dan merenung. Lalu saya pun bertanya lebih lanjut, “apa alasan mendasar sampai abang memilih ungkapan Bunda Maria ini sebagai motto panggilan”. Ia pun tidak tahan menjelaskan. “Menurut saya ada dua hal yang hendak ditunjukkaan Bunda Maria di balik ungkapan itu, yakni sikap penyerahan diri secara total kepada penyelenggaraan Tuhan dan sikap bersedia menanggung segala konsekuensi di hadapan tuntutan tradisi budaya Yahudi di mana ia hidup dan menetap.
Pertama, sikap penyerahan diri Bunda Maria yang total kepada penyelenggaraan Tuhan Yang Mahakuasa. Bunda Maria menyerahkan diri ke dalam penyelenggaraan Tuhan ketika apa yang akan terjadi dengan kehidupannya di luar dari apa yang diperkirakannya. Melalui pertanyaan, “Bagaimana mungkin aku bisa mengandung sementara aku belum bersuami?” (Luk. 1:34) Maria menunjukkan sikap kemanusiawiannya di mana masih adanya keraguan akan apa yang diberitakan malaikat utusan Tuhan. Pertanyaan itu pun diungkapkannya karena kesadarannya akan latarbelakang budaya di mana ia hidup. Budaya yang memiliki sikap tegas dan tanpa ampun kepada setiap perempuan yang mengandung tanpa suami sah. Dalam percakapan itu Bunda Maria menjadi tidak berdaya ketika malaikat utusan Tuhan mengatakan bahwa dirinya akan mengandung dari Roh Kudus. Informasi yang diberikan malaikat utusan Tuhan kepada Bunda Maria adalah sebuah informasi yang tidak biasanya dan sesuatu yang mustahil terjadi. Sebagai pribadi yang taat kepada kehendak Allah, di hadapan kenyataan itu Maria hanya menunjukkan sikap pasrahnya kepada penyelenggaraan Tuhan, sehingga ia berkata, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu itu”.
Kedua, Maria menunjukkan sikap bersedia menanggung konsekuensi hidup. Telah saya singgung di atas bahwa hal yang akan dilakukan Tuhan kepada Bunda Maria merupakan sebuah kenyataan yang bertentangan dengan cara pandang tradisi masyarakat Yahudi di mana Maria hidup. Salah satu ketentuan tradisi adat istiadat Yahudi itu adalah dengan merajam atau menghukum sampai mati (bdk. Yoh. 8:5), jika kedapatan seorang perempuan hamil tanpa melalui proses adat istiadat setempat. Bunda Maria tentu menyadari hal itu, sehingga jawabannya merupakan jawaban penyerahan diri yang total akan apa yang akan dihadapinya karena keyakinannya pada penyelanggaraan Tuhan. Melalui jawabannya itu, Bunda Maria bersedia jika kesediaannya menjalani apa yang dikehendaki Tuhan, dirinya harus menanggung segala bentuk tanggung jawab di hadapan kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat. Bunda Maria menunjukkan sikap kesiapsediaannya jika semuanya harus terjadi terhadap dirinya. Dalam keterbatasan diri, Bunda Maria berpasrah kepada penyelenggaraan Yang Kuasa. Kedua hal itu merupakan sikap yang ditunjukkan Bunda Maria di balik jawabannya kepada malaikat utusan Tuhan.”
Mendengar penjelasnnya, saya terkesima. Sejenak merenung. Tetapi, rasa penasaran dari dalam diri saya semakin menjadi-jadi. Saya pun kembali mengajukan pertanyaan yang agak menantang. “Mengapa abang jadikan ungkapan Maria ini sebagai bahan refleksi hidup panggilan abang?” Ia pun kembali menjelaskan. “Pada dasarnya ada satu hal yang ingin saya tampilkan tentang diri saya melalui ungkapan ini, yakni kesadaran akan keterbatasan diri. Keterbatasan diri oleh karena latar belakang hidup saya sebagai seorang anak manusia yang dilahirkan dalam keluarga yang memiliki banyak keterbatasan, keterbatasan diri karena kelemahan-kelemahan manusiawi dalam hidup sehari-hari dan keterbatasan diri di hadapan Tuhan di mana dosa merupakan kenyataan hidup yang selalu menjadi milik saya. Namun, dalam keadaan pernuh dengan banyak keterbatasan ini saya berani menempuh panggilan nan suci ini. Itulah keterkejutan besar yang saya rasakan dalam kehidupan saya.” Sebagai pendengar saya menyadari bahwa pribadi yang sedang berbicara dengan saya adalah seorang yang cerdas, berpikiran tajam dan berwawasan luas. Pembicaraannya yang runtut, detail dan komprehensif adalah buktinya. Lalu kami pun berdiam sejenak. Kebetulan di tangan kami ada bir kaleng yang diberikan tuan rumah yang adalah juga konfrater, kami pun meneguk minuman secara serentak. Dalam hening itu ia pun melanjutkan pembicaraannya. “Fr, saya ingin mengungkapkan beberapa poin refleksi saya berkenaan dengan keterbatasan-keterbatasan ini, apa yang saya perjuangan di hadapan keterbatasan itu dan sikap apa yang selalu saya bangun dari kesadaran akan keterbatasan diri.”
Pertama: Keterbatasan diri sebagai anak yang dilahirkan dalam keluarga Yang Penuh dengan Keterbatasan
Saya dilahirkan dalam sebuah keluarga yang sederhana. Segala sesuatu yang diinginkan akan didapati hanya dengan cara bekerja keras atau banting tulang. Sebagai orang beriman, saya yakin bahwa keluarga saya merupakan keluarga yang secara alamiah menjalankan apa yang dikatakan rasul Paulus, bahwa siapa yang tidak bekerja tidak boleh makan (2 Tesalonika 3:10). Sebagai anak yang dilahirkan dalam keluarga seperti itu tentu akan memiliki filosofi hidup yang berbeda dengan anak lainnya yang dilahirkan dalam keluarga kaya raya. Saya, sampai saat ini memiliki filosofi hidup bahwa untuk bisa menjadi baik dan berhasil dibutuhkan usaha dan perjuangan yang keras.
Ayah dan ibu saya bekerja sebagai petani. Mereka melahirkan kami kelima bersaudara (3 laki-laki dan 2 perempuan). Sebagai anak, saya bersaksi bahwa kedua orangtua kami, meskipun dalam keadaan yang penuh dengan keterbatasan, tidak pernah membiarkan anak-anak mereka ditelantarkan begitu saja. Mereka berdua selalu berjuang dan berupaya agar apa yang dibutuhkan anak-anak mereka terpenuhi. Tanggung jawab orangtua itu menjadi bekal hidup bagi saya untuk juga bertanggung jawab dengan hidup yang sudah dijalankan ini.
Menurut pengalaman saya dilahirkan sebagai anak dalam keluarga yang penuh dengan keterbatasan tidaklah selalu mengenakan. Dalam banyak kesempatan segala sesuatu yang dibutuhkan tidak selalu dipenuhi. Ketidakpuasan selalu ada dikala mengalami hal itu, sehingga menimbulkan aneka reaksi yang ditunjukkan oleh saya di hadapan kedua orangtua. Adakalanya saya memarahi mereka, adakalanya saya membenci mereka, dan juga menunjukkan bentuk perlawanan dikala mereka meminta bantuan. Namun, satu hal yang saya bangga dari kedua orangtuaku adalah mereka memberikan kesadaran kepada kami bahwa oleh karena keterbatasanlah segala permintaan dan tuntutan kami tidak bisa dipenuhi. Itulah yang menjadi kebanggan saya sampai saat ini. Orangtua mengajarkan kejujuran dan keterbukaan hidup kepada kami, anak-anak mereka. Dari situ lahirlah kesadaran baru dalam diri saya bahwa sikap menuntut dan selalu mewajibkan orangtua untuk menjadi penyedia dan pemenuh atas apa yang diinginkan tidaklah tepat. Dari keterbatasan, kami diajari dan melatih diri untuk bekerja dan berjuang demi memperoleh apa yang diinginkan.
Akhirnya, saya sadari bahwa dengan adanya keterbatasan hidup dalam keluarga, kami diajari kedua orangtua untuk memiliki sikap terbuka, jujur dan menampilkan diri apa adanya, baik di hadapan sesama maupun di hadapan Tuhan Yang Mahakuasa. Tuhan memiliki cara untuk menyadarkan setiap orang tentang hidupnya sendiri, dan bagi saya hidup dalam keterbatasan adalah cara Tuhan hadir dan menyapa keluarga kami.”
Mendengar luapan hatinya itu saya pun sedikit menundukkan kepala. Saya sejenak merenung dan bertanya, “apa yang terjadi di antara kami sampai ia dengan beraninya meluapkan isi hatinya kepada saya. Sejujurnya ini bukan harapanku dalam perjalanan ini. Tetapi, kok bisa terjadi?” “Ada hal lain lagi yang saya renungkan selain daripada yang telah saya ceritakan”, ungkapnya lagi pada saat saya lagi asik-asik keheranan. Saya pun kembali memasang telinga.
Kedua: Menjadi biarawan Karmel dalam Keadaan Penuh dengan Keterbatasan
Kesadaran akan segala penyelanggaraan Tuhan dalam keterbatasan, membuat saya berani dan percaya diri untuk masuk dan menjalani hidup sebagai seorang biarawan Karmel. Situasi riil kehidupan kami yang diwarnai oleh beragam keterbatasan dan melahirkan cara pandang baru tentang hidup dan artinya adalah modal awal saya masuk dalam hidup membiara. Dalam Karmel saya diteguhkan dan diyakinkan secara lebih pasti bahwa hidup yang diberikan Tuhan, apapun keadaannya, adalah sebuah pemberian dan karunia.
Karmel memperlihatkan kepada saya tentang hidup yang sebenarnya melalui spiritualitasnya, yakni hidup doa, persaudaraan dan pelayanan. Dalam doa, saya diajarkan untuk selalu bersemuka dengan Tuhan. Saya diajari untuk selalu bersyukur atas segala hal yang saya terima setiap saat dari Tuhan Yang Mahakuasa. Saya diajari untuk memulai kegiatan harian saya dengan memohon restu dan berkat dari Tuhan, dan mengakhiri perjuangan hidup harian saya dengan bersyukur kepada-Nya. Saya sangat menyadari bahwa keintiman relasi dengan Tuhan ini membentuk hidup saya menjadi pribadi yang mau mencintai sesama saudara apa adanya, melihat kelemahan teman juga sebagai kelemahan diri saya, kesusahan teman juga kesusahan saya, dan bersedia untuk menjadi saudara bagi siapapun yang saya jumpai terlebih khusus bagi mereka yang membutuhkan bantuan saya. Dengan hati yang demikian, saya juga diajarkan untuk memiliki semangat kerelaan hati untuk melayani sesama. Saya selalu berjuang untuk itu semua.
Ketiga spirit hidup itu sempat menjadi tantangan bagi saya pada saat masuk awal hidup sebagai novis Karmel. Doa misalnya, menjadi kendala bagi saya jika dikaitkan dengan waktu. Misalnya, saya harus bangun pagi-pagi, siang harus melepaskan pekerjaan, sore harus melepaskan aktifitas belajar dan pada malam hari saya harus berjuang melawan rasa ngantuk. Selanjutnya, tentang hidup persaudaraan. Pada awalnya saya mengira bahwa hidup di biara layaknya hidup di Seminari kecil yang pernah saya lalui, di mana adanya “kubu-kubu” dalam pertemanan, adakalanya saling menguasai di antara satu dengan yang lain, dan adanya senioritas yang melanggengkan penguasaan dari orang yang merasa lebih tua kepada setiap pribadi yang masih muda. Namun, dalam kenyataannya saya mengalami perbuahan paradigma ketika saya melihat para pendahulu menunjukkan sikap bersaudara yang hangat dan tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Keadaan itu mengubah karakter saya yang sebelumnya pemalu dan pendiam menjadi sedikit berani dan mulai rajin berbicara. Dengan hidup yang penuh dengan nuansa persuadaraan itu, kerelaan hati saya untuk mau bekerja sama dan saling membantu dengan saudara yang lain menjadi sangat baik. Karmel membentuk hidup saya.
Sayangnya, kelemahan dan keterbatasan yang saya miliki dari dalam diri kadangkala menjadi penghambat hidup membiara. Dalam kebersamaan itu adakalanya muncul sikap iri hati, cemburu, egois, malu, gugup, serta sejumlah sikap buruk lainnya. Saya iri hati kepada teman yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi, saya cemburu kepada teman yang memiliki keberanian untuk membangung komunikasi dengan setiap orang penghuni komunitas, kadangkala tidak ingin berelasi dengan sejumlah saudara, saya pun tidak memiliki keberanian jika ditunjuk untuk berdiri di hadapan banyak orang karena malu. Semua hal itu membuat saya tidak merasa nyaman untuk menjalani hidup dalam biara. Saya sadari bahwa diri saya mengalami keterbelakangan dalam sejumlah aspek kehidupan.
Kesadaran akan keterbatasan itu menjadi bahan permenungan diri sendiri. Pada saat-saat seperti itu saya mengenang kembali kehidupan bersama kedua orangtua dan adik-adikku. Saya mulai menyadari bahwa segala keterbatasan yang kami miliki di rumah adalah faktor penting akan keterbelakangan hidup saya dalam biara. Saya pun mulai berjuang untuk mengubah. Saya mulai menggali sejumlah informasi untuk mencari jalan keluar akan segala keterbatasan diri. Saya membaca buku-buku yang berisikan motivasi hidup. Saya membaca buku-buku rohani agar bisa menguatkan saya di kala putus asa. Saya bertanya kepada teman-teman yang memiliki pengalaman hidup yang lebih baik. Akhirnya saya harus akui bahwa ketika berada di novisiat saya seakan-akan mulai belajar lagi tentang hidup.
Kesadaran akan keterbatasan diri itu menjadi teman hidup saya untuk tahap pembinaan hidup selanjutnya. Pada saat memasuki masa profesi sementara kesadaran itu menjadi penggerak dari dalam diri saya untuk ingin terus belajar. Tetapi, saya harus mengakui bahwa keterbatasan itu kadangkala memasukkan saya ke dalam pengalaman yang menyakitkan dan merusak persaudaraan. Hal itu terjadi dikala saya menunjukkan sikap marah, keras kepala, suka berdebat yang tidak perlu, tidak menghargai usaha teman dan yang lebih sadisnya lagi adalah keterbatasan diri itu membuat saya bertindak tanpa berpikir secara matang. Bagaikan labirin, perjalanan hidup membiara saya kadang menunjukkan adanya kemajuan, kadang pula menunjukkan kemunduran.
Pada suatu kesempatan keterbatasan dan ketakberdayaan itu melumpuhkan saya. Saya mengalami kekeringan hidup membiara. Saya merasa biara bukan lagi tempat hidup saya. Saya hanya ingin kembali ke rumah dan tinggal bersama kedua orangtua. Saya merasa bahwa biara hanya layak untuk orang-orang yang mampu secara intelektual dan mapan secara ekonomi. Suatu kesempatan dalam doa pikiran saya sedikit berubah karena saya seakan-akan mendapat sebuah bisikan bahwa kamu memiliki bakat yang bisa kamu berikan untuk biara, jika bukan dari kelebihan yang lain. Atas dasar itulah, saya mulai berjuang untuk memaksimalkan segala kemampuan saya untuk diabdikan sepenuhnya kepada biara. Saya sadari bahwa kesadaran akan keterbatasan membuat saya berpikir lebih kreatif dan mau berjuang secara lebih maksimal. Suatu kesempatan saya mengatakan kepada diri sendiri, Walaupun saya tidak punya kemampuan apapun yang bisa saya berikan kepada Karmel ini, saya punya diri sendiri dan hati yang mau mengabdi. Apapun akan saya lakukan untuk Karmel yang telah menerima saya dan menjadi rumah pewujud cita-cita hidup saya sendiri. Jika perlu, andaikan biara Karmel menjadikan saya sebagai pekerja atau karyawan apapun, saya akan tetap siap dan menjalankan itu. ”
Secara jujur, air mata saya jatuh mendengar sharingannya itu. Saya rasa dia yang ada di depan saya ini adalah malaikat yang mau meneguhkan saya untuk selalu semangat menjalani hidup membiara ini. Ia yang jujur dengan segala persoalan hidupnya kepada saya, bukan suatu kebetulan terjadi. Saya mulai menyadari itu. Pada saat itu saya pun mengajukkan pertanyaan, “Apakah masih ada hal lain lagi yang direfleksikan berdasarkan fiat Maria itu?” Dia pun menjawab, “Iya frater”. Lalu melanjutkan pembicaraannya,
Ketiga: Mencari Panutan Hidup demi Mengatasi Keterbatasan Diri
Keterbatasan adalah bagian dari hidup saya. Hal itu pun berkenaan dengan teladan hidup. Kesadaran akan keterbatasan itu memotivasi saya untuk mencari tokoh atau imam tertentu dan dijadikan sebagai panutan. Saya berupaya agar segala sesuatu yang dijalankan tokoh panutan itu juga menjadi sesuatu yang akan saya hidupi. Namun sayang, dalam perjalanan waktu sejumlah tokoh yang saya jadikan sebagai teladan atau panutan hidup itu menunjukkan sikap yang bagi saya adalah sesuatu yang tidak diharapkan. Saya pun kecewa dan melepaskan metode itu.
Saya pun menemukan cara lain yakni berjuang untuk menjadi orang yang memiliki sikap peduli yang tinggi kepada kehidupan sosial. Saya mulai mengidolakan tokoh-tokoh politik tertentu dan ideologi partai tertentu. Namun dalam perjalanan waktu saya pun menemukan banyak sekali kejanggalan dari politisi, partai politik dan ideologinya karena ketidakmurnian mereka dalam memperjuangkan nasib hidup manusia, atau berorintasi pada pemenuhan kebutuhan hanya kepada segelintir orang atau kelompoknya saja. Saya pun tidak lagi memiliki semangat itu dan meninggalkannya.
Pada tahap tertentu, saya pernah mengalami krisis kepercayaan kepada siapapun. Saya mengalami kebingungan dalam mencari tokoh teladan hidup. Dalam keadaan itu, saya pun membukakan diri kepada salah seorang formator dan meluapkan segala isi hati yang saya rasakan. Saya berharap bahwa dengan pertemuan itu saya bisa memperoleh solusi terbaik untuk kehidupan saya, untuk kehidupan yang sangat saya cintai ini. Sebagaimana yang saya harapkan, benar bahwa pertemuan itulah yang mengubah arah hidup saya. Kepada saya, formator itu mencoba menunjukkan sejumlah orang kudus yang mengalami pengalaman serupa. Ia pun secara terbuka menyeringkan pengalamannya tentang hal serupa. Lalu, pada akhirnya ia mengatakan bahwa, tokoh satu-satunya yang harus jadi idola atau teladan atau penutan untuk kita adalah Tuhan Yesus. Tuhan Yesus berjuang sungguh-sungguh dan tidak setengah-setengah dalam setiap usaha-Nya. Tuhan Yesus berjuang sampai ia rela diri-Nya mati disalibkan di palang penghinaan. Ia dilahirkan dalam keadaan penuh dengan keterbatasan, lahir di kandang binatang, dikejar oleh Herodes untuk dibunuh pada saat masih bayi, lalu bersedia memperjuangkan kebenaran Kerajaan Allah sampai mati. Dalam diri Tuhan Yesus kita temukan manusia yang konsisten dengan komitmen awalnya. Dalam diri Tuhan Yesus kita temukan manusia yang berani memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Dalam diri Tuhan Yesus kita temukan manusia yang punya hati untuk setiap orang yang membutuhkan pertolongan dan bantuannya. Ia adalah gambaran manusia yang sempurna. Dialah teladan dan panutan kita. Di akhir pembicaraan itu, formator tersebut menyuruh saya untuk rajin membaca dan bersedia melaksanakan perintah regula Ordo Karmel no. 10 secara lebih serius. Semangat itulah yang selalu saya perjuangkan sampai saat ini. Tuhan Yesus adalah andalanku.”
Setelah mendengar sharingannya, saya pun penasaran agar dia yang ada di hadapanku bisa memberikan saya pesan atau wejangan untuk kehidupan saya selanjutnya. Sebab, saya sangat yakin bahwa orang yang sementara berbicara dengan saya ini, meskipun ia menunjukkan segala keterbatasannya di hadapan melalui cerita-ceritanya, orang ini adalah malaikat yang menyadarkan saya. Oleh karena itu saya pun meminta nasihat, “Abang, jika abang ingin memberikan pesan kepada saya, apa yang akan abang pesan untuk saya selama menjalani panggilan hidup sebagai biarawan ini?” Ia pun dengan rela hati memberikan wejangan. (Saya jadikan jawabannya sebagai poin keempat dalam refleksi ini)
Keempat: Sikap Penyerahan Diri Kepada Tuhan Adalah Bekal Hidup Kita.
Santa Theresia Lisieux pernah berkata dalam otobiografinya demikian, “Di balik awan yang gelap, matahari kan tetap bersinar.” Ungkapan itu menjadi kata-kata peneguh dari St. Theresia untuk perjuangan hidup kita. Saya memahami bahwa ungkapan St. Theresia itu adalah bahasa simbolik yang memberikan arti tertentu kepada setiap pembaca. Bagi saya awan yang gelap adalah simbol dari keadaan keterbatasan hidup kita sebagai manusia. Matahari adalah Tuhan sendiri. Sehingga ungkapan itu bisa diartikan bahwa meskipun hidup kita ini memiliki banyak persoalan dan keterbatasan, Tuhan akan tetap ada bersama dan menunjukkan arah terang hidup bagi setiap orang yang berpasrah pada penyelenggaran-Nya. Tuhan selalu berkarya di balik setiap pengalaman hidup yang kita alami.”
Dia pun melanjutkan, “Saya sendiri sadari bahwa keterbatasan adalah bagian dari hidup saya. Namun, dari keterbatasan itu saya sungguh bersaksi tentang karya Tuhan bagi kehidupan saya. Pengalaman keterbatasan membentuk pribadi saya untuk menunjukkan diri apa adanya di hadapan Tuhan dan sesama. Keterbatasan membentuk saya untuk belajar rendah hati kepada siapapun. Keadaan yang penuh dengan keterbatasan membentuk pribadi saya untuk terbuka kepada saudara lain dan mau diarahkan oleh saudara lain yang memiliki kelebihan. Oleh karena keterbatasan, saya belajar untuk hidup jujur dan tampil apa adanya sambil selalu berharap akan datangnya hati hati yang matang untuk melengkapi segala bentuk keterbatasan hidup saya. Saya yakin bahwa itu semua bisa terjadi karena karunia Tuhan dan di hadapan-Nya saya hanya bisa mengatakan, Sesungguhnya saya ini hamba-Mu Tuhan, jadikan padaku menurut kehendak-Mu.”
Akhir Kata
Itulah yang saya katakan pada awal tulisan bahwa Vacare Deo kali ini saya mengalami hal yang istimewa. Istimewa karena Tuhan menghadirkan sosok yang secara terbuka membicarakan kehidupannya kepada saya. Sekali lagi saya tidak akan menunjukkan identitas secara jelas dan lengkap karena bukan hal itu yang penting. Hal yang penting dan istimewa dalam kesempatan ini adalah sesuatu yang direfleksikan seorang konfrater yang lebih tua kepada saya tentang fiat Bunda Maria dalam Injil Lukas 1:38, “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu.” Sesuatu yang luar biasa dan istimewa dalam Vacare Deo kali ini.
*** Vacare Deo adalah kegiatan para frater untuk belajar mengosongkan diri di hadapan Allah melalui doa, persaudaraan, dan pelayanan , di mana mereka diajak untuk mengalami hidup bagi Tuhan yang hadir dalam diri sesama saudara dan orang yang mereka layani. Vacare Deo terakhir dilaksanakan pada libur Natal dan Tahun Baru, Desember – Januari, 2019 – 2020.
Rm. Nikolaus Jata, O. Carm. adalah seorang Karmelit, anggota Ordo Karmel Komisariat Indonesia Timur. Romo Kons – begitu dia biasa dipanggil – ditahbiskan menjadi imam Karmelit pada 15 November 2020. Saat ini, Romo Kons bertugas di Seminari Menengah Keuskupan Manokwari – Sorong, Papua.